MAKALAH
PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT
DEMOKRASI

Disusun Oleh :
v
MUHAEMIN
v
EGI
FATHUL ARIPIN
v
BAYU
SEGARA
v
DEDI
IRAWAN
SMAN 1 JANAPRIA
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang "PERANAN PERS
DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS" ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya.
Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pers, Jurnalistik, Kode Etik Jurnalistik dan Sedikit
Sejarah Perjalanan Pers di Tanah AIr dari Masa ke Masa. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
di masa depan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi, Pers adalah salah satu sarana
bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki
peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab
memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu
unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo,
bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan
bertanggung jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi
dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam
Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran
politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai
aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut
serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara. Pers merupakan pilar
demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya
dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung
kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang.
Disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas
dari kapitalisme dan politik. Pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan
pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan
kepentingan masyarakat yang lebih besar. Kemungkinan kebebasan lembaga pers
yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik tersebut, mendorong
semangat lahirnya citizen journalism. Istilah citizen journalism untuk
menjelaskan kegiatan pemrosesan dan penyajian berita oleh warga masyarakat
bukan jurnalis profesional. Aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga
sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi
latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan
sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi
sebagai realitas kehidupan sehari-hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia
dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di sisi lain ada
realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah
keterputusan hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya
hubungan antara citra dan realitas demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat
digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang seolah-olah demokrasi
padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus
dari
realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui
citraan-citraan sistematis oleh media massa.
Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari
pemilik informasi dan penguasa opini publik.
Proses demokratisasi disebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen,
tapi juga ada media massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik
pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat. Keberadaan media massa
ini, baik dalam kategori cetak maupun elektronik memiliki cakupan yang
bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun
siaran.
Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi,
dimana adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara
yang menganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi yang merata.
Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor yang menghambat proses komunikasi
ini,terutama disebabkan oleh keterbatasan media massa dalam menjangkau
lokasi-lokasi pedalaman.
Keberadaan radio komunitas adalah salah satu jawaban dari pencarian
solusi akan permasalahan penyebaran akses dan sarana komunikasi yang menjadi
perkerjaan media massa umum. Pada perkembangannya radio komunitas telah banyak
membuktikan peran pentingnya di tengah persoalan pelik akan akses informasi dan
komunikasi juga dalam peran sebagai kontrol sosial dan menjalankan empat fungsi
pers lainnya.
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.
Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa
latin, perssare dari kata premere, yang berarti ―Tekan‖ atau
―Cetak‖, definisi terminologisnya adalah ―media massa cetak‖ atau ―media
cetak" Media massa, menurut Gamle
& Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau
sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar
manusia.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
A.
FUNGSI DAN PERANAN PERS
A.1. FUNGSI PERS
1. Pers sebagai Media Informasi
Media
informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi
yang
disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai
berita yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh
para reporter di lapangan. Menurut Pembinaan Idiil Pers, pers mengemban fungsi
positif dalam mendukung mendukung kemajuan masyarakat, mempunyai tanggung jawab
menyebarluaskan informasi tentang kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada
masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para pembaca pers akan
tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.
2. Pers sebagai Media Pendidikan
Dalam Pembinaan Idiil Pers disebutkan bahwa pers harus dapat membantu
pembinaan swadaya, merangsang prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi
Pancasila, peningkatan kehidupan spiritual dan kehidupan material benar-benar
dapat terwujud. Untuk memberikan informasi yang mendidik itu, pers harus
menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta di lapangan secara objektif
dan selektif. Objektif artinya fakta disampaikan apa adanya tanpa dirubah
sedikit pun oleh wartawan dan selektif maksudnya hanya berita yang layak dan
pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak diekspose ke
masyarakat luas.
3. Pers sebagai Media Entertainment
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1disebutkan bahwa salah satu
fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya
tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan tidak boleh dilampaui. Hiburan
yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang melanggar
nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau peraturan tidak
diperbolehkan. Hiburan yang diberikan pers kepada masyarakat yang dapat mendatangkan
dampak negatif, terutama apabila hiburan itu mengandung unsur-unsur terlarang
seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.
4. Pers sebagai Media Kontrol Sosial
Maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial adalah pers memaparkan peristiwa
yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya
peristiwa itu tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati
peraturan semakin tinggi. Makanya, pers sebagai alat kontrol sosial bisa
disebut ―penyampai berita buruk‖.
5. Pers sebagai Lembaga Ekonomi
Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat
kabar dan majalah di Indonesia memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar
dan menjadikan berita sebagai komoditas untuk menarik pangsa pasar itu.
A.2. PERANAN PERS DALAM
KEHIDUPAN MASYARAKAT
1.
Memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui
2.
Menegakkan nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
3.
Mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4.
Melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5.
Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Perubahan regulasi media ternyata tidak sungguh-sungguh dimaksudkan
untuk menyerahkan urusan publik kepada publik, mengeliminir determinasi sistem
terhadap domain kehidupan masyarakat dan individu. Perubahan regulasi itu
belakangan justru kembali memfasilitasi gerak rebirokratisasi informasi dan surplus
ekonomi, penghargaan terhadap kemajemukan dan kebinekaan tergusur oleh
orientasi untuk mempertahankan establishmen kepentingan ekonomi dan politik
dibalik bisnis media. Semangat untuk menjadikan media sebagai urusan publik
dikalahkan gerak reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi.
Artinya ekonomi-politik yang demikian menghalangi media dalam
menjalankan keutamaan ruang publik. Ketika produk media menjadi sepenuhnya
komoditas komersial, pembentukan watak sosial masyarakat melalui media semakin
tidak ditentukan oleh persoalan dan pertanyaan di seputar kewargaan, melainkan
oleh pertanyaan tentang konsumen. Maka, muncul beberapa kecendrungan anomali.
Ketika logika akumulasi modal menjadi satu-satunya determinan dalam bisnis
media, kinerja media terarah pada proses komersialisasi dan komodifikasi hampir
tanpa batas. Lalu ruang publik media mengalami pendangkalan.kemasan dianggap
lebih penting dibandingkan dengan isinya.
Dominasi rasionalitas strategi-instrumental mendorong sikap minimalis
terhadap berbagai keutamaan media. Minimalis dalam mengejawantahkan maksud
kebebasan pers dalam berkomitmen terhadap realitas kemajemukan dan kebhinekaan
kehidupan, serta dalam memproyeksikan diri sebagai institusi pengembangan
potensi-potensi komunitas individu. Media tanggap terhadap dinamika sosial
politik, namun dengan ekspresi dan stabilitas yang minimalis, tanpa penghayatan
penuh dan skema moral tertentu. Praktik media juga menjadi sangat berorientasi
pada sensasi dan citra.
Dan disisi lain, media juga institusi ekonomi yang beroperasi
berdasarkan rasionalitas bisnis. Karena modal yang digunakan untuk menggerakan
instirusi media tidaklah sedikit, maka besar pula ekspektsi bisnis terhadapnya.
Orang berinvestasi dibidang media bukan hanya karena idealisme, tetapi juga dan
terutama untuk berbisnis. Lalu sebagaimana enitas bisnis lainnya, media harus
tunduk kepad
hukum
ekonomi: efisiensi, intesnsifikasi, konvergensi dan sterusnya. Maka, tidak
mengherankan jika rasionalitas strategis menjadi sangat deteminan dalam dunia
media. Bisnis media juga harus diintegrasikan dalam sistem ekonomi secara lebih
luas.
1. Perjalanan Pers di
Indonesia
Pers di Indonesia mengalami banyak perkembangan dimulai dengan Dr. De
Haan dalam bukunya, ―Oud Batavia‖ (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara
sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa
sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat
berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah
itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada
tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai
surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Pers paska kemerdekaan, beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan
Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang, trmasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan
percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran
milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe
(Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran
tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka.
Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks
proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada
Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri",
"Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang
Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin
kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita
Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta
Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat
untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman
dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan
tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua.
Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan
kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI.
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding
dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran,
karena beritanya selalu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa
kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah
beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka
hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau
ketinggalan
mengikuti
berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin
meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa.
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers.
Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan
Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan
penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum
dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement
tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari
pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini
pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah
Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers
dilanjutkan kembali.
Pers era orde baru , aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan
pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde
Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara
lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang
dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut,
pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar
Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara
akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen
(Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181)
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil
merumuskan sistem pers baru yang ―orisinil‖ yakni Pers Pancasila, satu
labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam
kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social
responsibility pers). Konsep ―Pers Pembangunan‖ atau ―Pers Pancasila‖ (sering
didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi
dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada
pertengahan1980-an.
Pers dalam melawan tirani Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat
kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers
(SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek
intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil
menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga
kontrol.
Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri,
cuma mengenal satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Organisasi ini setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara
mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan
mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang
bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.
Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru
pembredelan tiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994.
Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia,
penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan
masyarakat.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pers di indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan berliku, dimulai
dari pers yang masih di bredel oleh penguasa pada masa itu sampai pers yang
sudah merdeka saat ini. Namun disayangkan kebebasan perssaat ini hanyalah
kebebasan semu karena disadari atau tidak pers kini dijajah secara halus oleh
kapitalisme dan juga politik pemilik modal. Pers seakan kehilangan jati diri
dan idealismenya dimana pers berdiri bukan hanya untuk memberikan informasi
kepada masyarakat namun juga untuk dasar ekonomi kepentingan bisnis dimana
berita yang dibuat harus juga merupakan berita yang menjual dan menguntungkan
pemilik modal.
Disisi ini pers lebih mengedepankan menjual informasi yang memang
diinginkan oleh konsumen daripada tentang informasi yang dianggap tidak
menjual, terlebih jika pemilik modal media tersebut juga aktif dalam ranah
politik maka media disini seolah ada peraturan tidak tertulis yang mengharuskan
pers menciptakan citra positif untuk pemilik modal tersebut sehingga lambat
laun idealitas dari penulis hilang ditelan kapitalisme dan kepentingan dari
pemilik modal.
B. SARAN
Sebenarnya jika pers pancasila dapat dilaksanakan dengan baik bukan
hanya pengakuan secara de jure saja kebebasan pers di Indonesia pasti akan jauh
lebih baik dan tertata karena pada hakikatnya walaupun kata ―bebas‖ tapi tetap
saja tetap ada batasan yang memang membatasinya. Kareana tidak ada sesuatu yang
memang benar-benar bebas seutuhnya. Selama pers bisa menjalankan pers pancasila
maka kebebasan pers itu akan jauh lebih baik.
REFERENSI
http://www.kompasiana.com/tya.listya/kebebasan-pers
https://kewarganegaraan3.wordpress.com/2010/01/29/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokratis/
https://pemerhatihukum.wordpress.com/2013/11/05/undang-undang-tentang-pers/
https://www.wikipedia.org/
https://www.google.co.id/
Komentar
Posting Komentar